Agustinus dilahirkan di Tagaste pada tahun 354 oleh seorang wanita Katolik yang saleh, Santa Monika. Ayahnya adalah seorang kafir yang bernama Patricius. St. Monika mendidik ketiga putera-puterinya dalam iman Kristen. Namun ketika menginjak remaja Agustinus mulai berontak dan hidup liar. Pernah suatu ketika ia dan teman-temannya yang tergabung dalam kelompok “7 Penantang Tagaste” mencuri buah-buah pir milik Pak Tallus, seorang petani miskin, yang siap dipanen untuk dilemparkan kepada babi-babi. Ketika dewasa Agustinus menganut agama Manikhean yang sangat kontroversial, sehingga membuat ibunya menjadi sangat cemas dan takut. Namun demikian Santa Monika selalu mendoakan suamidan anaknya agar bertobat dan dapat menjadi pengikut Kristus.
Agustinus dibesarkan kota Karthago dan mempelajari filsafat serta ilmu retorika. Tagaste dan Karthago merupakan wilayah kekuasaan Romawi, sehingga gaya hidup hedonisme Romawi yang berkembang pada masa itu juga merasuki kehidupan Agustinus. Dalam gaya hidup hedonisme itu kebahagiaan manusia didapat hanya dari kesenangan dan kenikmatan duniawi semata. Agustinus pun larut dalam gaya hidup hedonisme itu. Ia menjalin hubungan dengan seorang wanita muda di Karthago dan dijadikan sebagai ‘istri gelap’ selama lebih dari sepuluh tahun. Dari wanita ia mendapat seorang anak laki-laki.
Setelah menyelesaikan pendidikannya, Agustinus memulai kariernya dalam bidang filsafat dan retorika, seni persuasi dan bicara di depan publik. Ia mengajar di Tagaste dan Karthago. Agustinus masih merasa belum cukup. Ia ingin pergi ke Roma karena yakin bahwa di sanalah para ahli retorika yang terbaik dan paling cerdas berlatih. Meskipun orang-orang di Roma menolak untuk membiayai pendidikannya di Roma, Agustinus tidak berkecil hati. Belakangan ia kecewa dengan sekolah-sekolah di Roma yang dirasakannya sangat menyedihkan.
Sahabat-sahabatnya yang beragama Manikeanis memperkenalkannya kepada kepala kota Roma, Simakhus, yang telah diminta untuk menyediakan seorang dosen retorika untuk istana kerajaan di Milan. Simakhus yang terpesona pada kemampuan retorika Agustinus, mengajukan nama Agustinus untuk pekerjaan itu. Pada akhir tahun 384, Agustinus menjadi dosen retorika untuk istana.
Pada usia 30 tahun, Agustinus mendapatkan kedudukan akademik yang paling menonjol di dunia Latin. Ia menjadi maha guru terkenal di Milan. Pada saat itu kedudukan demikian memberikan akses ke jabatan-jabatan politik, namun demikian, hal itu tidak memberinya cukup kebahagiaan. Justru terjadi pergulatan batin di dalam dirinya. Agustinus merasakan ‘kehampaan’ dan ‘kegelisahan’ dalam kehidupan di istana kerajaan. Terlebih ketika suatu hari ia berjumpa dengan seorang pengemis yang sedang mabuk. Dalam perjalanan untuk menyampaikan sebuah pidato penting di hadapan kaisar, ia melewati pengemis itu. Ternyata pengemis miskin itu hidupnya tidak begitu diliputi kecemasan dibandingkan dengan dirinya. Sembilan tahun lamanya Agustinus menganut aliran Manikeanisme, yaitu bidaah yang menolak Allah dan mengutamakan rasionalisme. Tetapi tanpa kehadiran Tuhan dalam hidupnya, jiwanya itu tetap kosong. Semua buku-buku ilmu pengetahuan telah dibacanya, tapi ia tidak menemukan kebenaran dan ketentraman jiwa. Sejak awal tak bosan-bosannya Monika menyarankan kepada Agustinus untuk membaca Kitab Suci, di mana dapat ditemukan lebih banyak kebijaksanaan dan kebenaran daripada dalam ilmu pengetahuan. Tetapi, Agustinus meremehkan nasehat ibunya. Kitab Suci dianggapnya terlalu sederhana dan tidak akan menambah pengetahuannya sedikit pun. Di tengah kegelisahan batinnya itu Monika, ibunya, mendesaknya agar ia menjadi seorang Katolik sambil terus berdoa untuknya.
Ambrosius, uskup Milano, seorang ahli filsafat dan retorika seperti Agustinus, namun lebih tua dan lebih berpengalaman. Ambrosiuslah yang mempunyai pengaruh yang paling mendalam terhadap hidup Agustinus. Sebagian karena khotbah-khotbah Ambrosius, dan studi-studinya yang lain, termasuk suatu pertemuan yang mengecewakannya dengan seorang tokoh teologi Manikean, Agustinus beralih dari Manikeanisme. Namun bukannya menjadi Katolik seperti Ambrosius dan Monika, ia malah mengambil pendekatan Neoplatonis kafir terhadap kebenaran, dan mengatakan bahwa selama beberapa waktu ia merasakan bahwa ia benar-benar mengalami kemajuan di dalam pencariannya, meskipun pada akhirnya ia justru menjadi seorang skeptik.
Ibunda Agustinus menyusulnya ke Milano dan ia membiarkan ibunya mengatur sebuah pernikahan untuknya. Untuk itu ia meninggalkan istri gelapnya. (Namun ia harus menunggu dua tahun hingga tunangannya cukup umur, sementara itu ia menjalin hubungan dengan seorang perempuan lain). Pada masa itulah Agustinus dari Hippo mengucapkan doanya yang terkenal, “Berikanlah daku kemurnian dan penguasaan diri, tapi jangan dulu” [da mihi castitatem et continentiam, sed noli modo].
Suatu hari, ia mendengar tentang dua orang yang serta-merta bertobat setelah membaca riwayat hidup St. Antonius Pertapa. Agustinus merasa malu. “Apa ini yang kita lakukan?” teriaknya kepada Alypius, sahabatnya. “Orang-orang yang tak terpelajar memilih surga dengan berani. Tetapi kita, dengan segala ilmu pengetahuan kita, demikian pengecut sehingga terus hidup bergelimang dosa!” Dengan hati yang sedih, Agustinus pergi ke taman dan berdoa, “Berapa lama lagi, ya Tuhan? Mengapa aku tidak mengakhiri perbuatan dosaku sekarang?” Sekonyong-konyong ia mendengar seorang anak menyanyi, “Ambillah dan bacalah!” Agustinus mengambil Kitab Suci dan membukanya tepat pada ayat, “Marilah kita hidup dengan sopan seperti pada siang hari… kenakanlah Tuhan Yesus Kristus sebagai perlengkapan senjata terang dan janganlah merawat tubuhmu untuk memuaskan keinginannya.” (Roma 13:13-14). Ini dia! Sejak saat itu, Agustinus memulai hidup baru.
Pada musim panas tahun 386, setelah membaca kitab Roma yang sangat memukaunya itu, Agustinus mengalami suatu krisis pribadi yang mendalam dan memutuskan untuk menjadi seorang Kristen. Pada hari Paskah (tanggal 24 April) 387, Agustinus dipermandikan oleh Uskup Ambrosius. Ia meninggalkan kariernya dalam retorika, melepaskan jabatannya sebagai seorang profesor di Milano, dan gagasannya untuk menikah (hal ini menyebabkan ibunya sangat terperanjat), dan mengabdikan dirinya sepenuhnya untuk melayani Allah dan praktik imamat, termasuk selibat. Ia menceritakan perjalanan rohaninya dalam bukunya yang terkenal Pengakuan-pengakuan Agustinus yang kemudian menjadi sebuah buku klasik dalam teologi Kristen maupun sastra dunia. dan tak lama sesudah itu pada 388 ia kembali ke Afrika. Dalam perjalanan ke Afrika ibunya meninggal, dan tak lama kemudian anak laki-lakinya, sehingga ia praktis sendirian di dunia tanpa keluarga. Agustinus menjual segala harta miliknya dan membagi-bagikannya kepada mereka yang miskin papa. Ia sendiri mendirikan sebuah biara di Tagaste. Atas desakan Uskup Valerius dan umat, maka Agustinus bersedia menjadi imam. Ia ditahbiskan seorang imam di Hippo Regius, (kini Annaba, di Aljazair) pada tahun 391. Ia pun menjadi seorang pengkhotbah terkenal (lebih dari 350 khotbahnya yang terlestarikan diyakini otentik), dan dicatat karena melawan ajaran sesat Manikeanisme, yang pernah dianutnya. Banyak orang tak percaya kembali ke gereja Katolik sementara orang-orang Katolik semakin diperteguh imannya. Agustinus menulis surat-surat, khotbah-khotbah serta buku-buku dan mendidik biarawan-biarawan di Hippo agar dapat mewartakan injil ke daerah-daerah lain, bahkan ke luar negeri. Gereja Katolik di Afrika mulai tumbuh dan berkembang pesat berkat usaha Agustinus.
Pada tahun 396 ia diangkat menjadi pendamping uskup di Hippo (pembantu dengan hak untuk menggantikan apabila uskup yang menjabat meninggal dunia), dan tetap sebagai uskup di Hippo hingga kematiannya. Ia meninggalkan biaranya, namun tetap menjalani kehidupan biara di kediaman resminya sebagai uskup. Ia meninggalkan sebuah Buku Aturan (bahasa Latin Regula) untuk biaranya.
Agustinus meninggal pada 28 Agustus 430, ketika Hippo dikepung oleh bangsa Vandal. Konon ia telah menganjurkan warga kota itu untuk melawan para penyerang, terutama berdasarkan alasan karena bangsa Vandal itu menganut ajaran sesat Arian. Makamnya terletak di Basilik Santo Petrus. Santo Agustinus dikenang sebagai Uskup dan Pujangga Gereja serta dijadikan Santo pelindung para seminaris. Pestanya dirayakan setiap tanggal 28 Agustus.
“Engkau telah menciptakan kami bagi Diri-Mu, ya Allahku, dan hati kami tiada tenang sebelum beristirahat di dalam Dikau.”
(catatan St. Agustinus “Pengakuan-Pengakuan”)
Jadi tidak peduli berapa jauh kamu menyimpang dari Tuhan,
Ia selalu siap untuk membawamu kembali.
Sama seperti Agustinus, seorang kafir yang dipanggil menjadi seorang Uskup,
kamu pun juga dapat bertumbuh dalam kasih dan kuasa Tuhan.
Sumber:
1. wikipedia.org/wiki/Agustinus_dari_Hippo
2. Saints For The Teenage Soul; www.angelfire.com/ar/tjhsaint;
3. “Augustinus: Pengakuan-Pengakuan”; Penerbit Kanisius dan BPK Gunung Mulia