Skip to content

Sejarah Paroki Santo Agustinus Karawaci

Sore itu langit cerah. Sebuah vespa tua melaju perlahan menyusuri gang-gang kecil di perumahan baru yang masih sepi penduduk. Sang pengemudi berjubah putih tampak santai menikmati perjalanannya. Sesekali ia menyapa sambil tersenyum kepada orang-orang yang dilaluinya, meski mereka tak dikenalnya. “Ada bule… Ada bule…, “ begitu seru anak-anak kecil yang melihat sang pengemudi vespa melintas. Ia tidak marah, dan tetap tersenyum.

Pengemudi vespa itu adalah Pater Van der Schueren, SJ (alm). Beliau adalah pastur pembantu (istilah sekarang pastur rekan) Paroki Santa Maria Tangerang. Sebelum Paroki Santo Agustinus Karawaci Tangerang berdiri, yaitu sekitar tahun 1980-an di daerah Tangerang hanya ada satu gereja Katolik yaitu Gereja Paroki Santa Maria Yang Berhati Tak Bernoda, lebih dikenal sebagai Gereja Paroki Santa Maria, dan sekarang menjadi Hati Santa Perwawan Maria Tak Bernoda, yang berada di Jl. Daan Mogot Tangerang.

Pada tahun tersebut Tangerang telah bertumbuh secara perlahan-lahan menjadi suatu wilayah industri sehingga banyak pendatang yang ingin beradu nasib di Tangerang. Pada tahun yang sama, pemerintah Kabupaten Tangerang membebaskan lahan perkebunan karet untuk mendirikan perumahan dengan nama Perumahan Nasional atau lebih dikenal dengan Perumnas di daerah Karawaci, Tangerang.

Banyak pendatang yang menempati perumahan baru tersebut, di antara mereka juga ada yang beragama Katolik. Pada waktu itu umat Katolik di daerah Perumnas baru berjumlah 27 KK dan sudah membentuk lingkungan dengan nama pelindungnya Emmanuel dan diketuai oleh Bapak Y. Sarimin. Hampir setiap sebulan sekali Pater Schueren berkeliling perumahan Perumnas I Tangerang untuk mengunjungi umat-umatnya di perumahan yang masih baru itu. Tanpa pandang bulu, rumah-rumah umat didatanginya. Selain mengunjungi yang sakit dan memberikan pelayanan-pelayanan sakramen, kunjungan itu juga untuk menyemangati umat agar terlibat aktif di lingkungan, maupun paroki.

Untuk memimpin ibadat sabda yang kala itu masih meminjam Kantor Pemasaran Perum Perumnas, yang terletak di Jalan Cendrawasih, ditunjuk dan dilantik seorang prodiakon, Bapak J. Soetikno. Di kantor pemasaran Perumnas itu pula setiap sebulan sekali diadakan misa lingkungan.

Karena umat pendatang semakin bertambah banyak, maka dirasakan perlu untuk memiliki tempat yang lebih baik untuk beribadat. Untuk mewujudkan keinginan ini, Paroki Santa Maria Tangerang bersama Pengurus Lingkungan Emmanuel Perumnas Tangerang membentuk Panitia Pembangunan Gereja (PPG) dengan kepengurusan sebagai berikut:
Pelindung : Pst. FX Tan Soe Ie, SJ (Pastor Kepala Paroki St. Maria)
Penasehat : Y. Sarimin (Ketua Lingkungan Emmanuel)
Ketua : D. Sadjono
Sekretaris : M.Hutabarat
Bendahara : R. Slamet Susyanto
Usaha tim PPG yang tidak kenal lelah tersebut membuahkan hasil yaitu diperoleh tanah seluas 1000 m2 yang terletak di Jl. Cisabi Perumnas 1 Tangerang, dengan surat keputusan dari Bapak Bupati Kepala Daerah Tingkat II Tangerang berupa Surat Izin Lokasi dan Penggunaan Tanah untuk Pembangunan Gereja di Kawasan Perumnas Tangerang dengan No. 370/PM.014.6/SIP/II/1981 tertanggal 25 Februari 1981.

Bekerjasama dengan Perkumpulan Strada, umat Lingkungan Emmanuel berhasil membangun Sekolah Taman Kanak-Kanak Dewi Sartika III yang mulai beroperasi pada tahun ajaran 1981/1982 untuk melayani pendidikan anak-anak Katolik di Perumnas Tangerang. Umat juga bahu-membahu membangun sebuah gedung serbaguna untuk dijadikan tempat ibadat dalam kompleks yang sama.
Selain doa dan dana yang digalang, umat juga menyingsingkan lengan baju untuk bergotong-royong membangun gedung serba guna setiap Minggu. Dari anak-anak hingga yang dewasa, pria dan wanita, semua ikut terlibat membersihkan rerumputan dan mengangkut tanah urukan, batu-batu bata, semen, serta material bangunan lainnya.

Setelah pembangunan selesai, kegiatan umat Lingkungan Emmanuel dipusatkan di sana. Selain dijadikan tempat peribadatan, gedung serba guna itu pun digunakan sebagai Sekolah Dasar Strada Slamet Riyadi dengan 3 kelas yang bisa dibuka-tutup pada bagian pemisahnya. Semakin meluasnya wilayah Perumnas maka semakin banyak pula umat di lingkungan Emmanuel sehinga perlu dibagi menjadi 6 lingkungan dan dijadikan satu wilayah Emmanuel.
September 1981, Bapak Uskup Agung Jakarta, Mgr Leo Soekoto, SJ (almarhum) melakukan kunjungan penggembalaannya ke Paroki Tangerang dan beliau juga berkenan hadir di wilayah Emmanuel. Beliau sangat terkesan dengan banyaknya umat yang hadir. Beliau menyarankan agar segera mencari tanah yang luasnya memadai supaya dapat menampung umat yang berlimpah.

Atas saran tersebut tim PPG berusaha mencari tanah yang cocok dan pada tanggal 2 Juni 1982, tim PPG atas nama Perkumpuan Strada membeli tanah seluas 8910 m2 yang terletak di Desa Cibodas kecamatan Jatiuwung. Pada tanah yang telah dibeli tersebut, oleh Perkumpulan Strada akan didirikan Gedung Serba Guna Tahap II, sebagai gedung gereja. Dengan gedung baru itu diharapkan jadwal misa dapat ditingkatkan menjadi dua kali sebulan.

Tahun 1984 Perkumpulan Strada membeli tanah di daerah Bencongan, tetapi karena lokasinya jauh dari jalan besar, timbul masalah dalam membangunnya. Sehingga dibangun lagi gedung darurat Tahap III dengan memanfaatkan jalur hijau halaman sekolah.

Pada awal tahun1985, terbersit berita bahwa tanah-tanah yang dibeli melalui Perkumpulan Strada yang berada di Wilayah Emmanuel akan terkena proyek Perum Perumnas Tahap II Tangerang. Sebagai gantinya diperoleh tanah seluas 9410 m2 yang berlokasi di Jalan Prambanan Perumnas II dan sisanya seluas 2290 m2 di Jalan Danau Tondano.

Pada bulan Mei 1988, Keuskupan Agung Jakarta memberitahukan bahwa umat di Wilayah Emmanuel dan sekitarnya, yaitu Wilayah Theresia (daerah Cimone) dan Wilayah Carolus Boromeus (daerah Jatake) akan dipisahkan dari Paroki Santa Maria Yang Berhati Tak Bernoda Tangerang, mengingat di wilayah ini sudah terdapat ribuan umat, memiliki lahan yang dianggap layak untuk tempat peribadatan serta pastor-pastor OSC (Ordo Salib Suci) Bandung yang telah bersedia untuk berkarya di daerah Perumnas dengan dibantu oleh suster-suster dari Sang Timur.

Untuk mempersiapkan peresmian oleh Bapak Uskup Agung Jakarta, telah disiapkan sebuah rumah tipe 70 di Jl. Prambanan no 1A untuk pastoran sedangkan dua buah rumah tipe 54 di Jl. Empu Panuluh akan digunakan sebagai susteran Sang Timur. Untuk tempat ibadatnya, dijadikan satu bangunan dengan gedung sementara milik SD Strada Slamet Riyadi yang telah dibangun terlebih dahulu.

Pada tanggal 28 Agustus 1988, Uskup Agung Jakarta, Mgr Leo Soekoto, SJ (almarhum) berkenan meresmikan berdirinya Pengurus Gereja dan Dana Papa (PGDP) Roma Katolik Gereja Santo Agustinus yang berkedudukan di Perumnas Tangerang dengan Surat Pernyataan bernomor 1344/3.25.4.39/88. Monsigneur Leo Soekoto juga menetapkan dan melantik personalia PGDP Roma Katolok Gereja Santo Agustinus sebagai berikut :
Ketua : Pastor Christ Tukiyat, OSC
Wakil Ketua : Bapak St. Supriyadi SA.
Sekretaris I : Bapak P. Sarino
Sekretaris II : Bapak J. Soetikno
Bendahara I : Bapak A. Darto Margo
Bendahara II : Pastor Sigit Nugroho, OSC
Anggota : Bapak A. Haryo Wibowo
Bapak Y. Murwantono
Bapak Y. Sarimin.

Peresmian tersebut ditandai dengan penanaman pohon palem oleh Mgr. Leo Soekoto, SJ. Pada saat itu, Paroki Santo Agustinus baru mempunyai 4 wilayah yaitu Wilayah Emanuel ( 6 lingkungan), Wilayah Theresia ( 5 lingkungan), Wilayah Carolus Boromeus (4 lingkungan) dan Wilayah Gabriel Curug.

Pada awal penetapannya, Paroki Santo Agustinus mendapatkan batas-batas territorial yang sangat luas. Batas-batas yang dimaksud:
a. Sebelah Utara : Laut Jawa
b. Sebelah Barat : Kabupaten Serang
c. Sebelah Selatan : Kabupaten Bogor
d. Sebelah Timur : Berbatasan dengan Paroki Santa Maria Yang Berhati Tak
Bernoda, mulai dari Utara hingga ke Selatan.
– Timur : Kecamatan Keronjo, Kelurahan Gebangraya, Jalan Merdeka dan
Kelurahan Cimone, Sungai Cisadane yang memanjang hingga
Bogor
– Utara dan Timur : Kecamatan Rajeg
– Utara : Kelurahan Sukamantri

Doa dan harapan serta usaha seluruh umat untuk memiliki rumah ibadat yang layak sejak tahun 1980-an sudah mencapai tahap mempunyai paroki yang mandiri walaupun dengan rumah ibadat yang masih jauh dari standar sederhana. Semangat umat tak lantas surut. Doa, harapan dan usaha pun diarahkan pada perolehan ijin dan gedung gereja yang lebih layak. Maklumlah, umat paroki Santo Agustinus kala itu merayakan Ekaristi di gereja yang lebih pantas disebut ‘bedeng’.

Ya, “Bedeng” , begitulah nama yang dikenal untuk bangunan awal yang digunakan sebagai tempat beribadah umat Paroki Santo Agustinus di awal-awal penetapan pendiriannya. Bangungan beratap seng dengan tiang-tiang kayu dan berlantai tanah merah yang terletak di jalan Prambanan Raya Perumnas II Tangerang itu hanya memiliki dua sisi yang berdinding triplek, sedangkan sisi lainnya terbuka.

Bangunan darurat bekas ruang kelas SD Strada Slamet Riyadi yang dipindahkan dari jalan Cisabi itu diberi cat hijau agar tampak teduh dan segar karena sekelilingnya masih gersang. Ketika hujan turun suara mikropon akan kalah dengan gemiricik air hujan yang menyentuh permukaan seng. Sepatu-sepatu umat pun tampak kemerahan pada bagian alasnya karena tanah yang melekat di musim penghujan. Saat musim kemarau tiba, debu-debu bebas beterbangan memasuki ruang gereja. Sebelum misa dimulai para petugas tata laksana beserta Putera Altar dan Puteri Sakristi sibuk membeserhkan bangku-bangku yang dari debu yang melekat. Setiap beberapa menit tampak umat sibuk menyeka butiran-butiran keringat dari dahinya dan sering kali lembaran doa berubah fungsi menjadi kipas tangan karena panasnya suhu dalam ruangan beratap seng.

Tiga tahun berselang sejak diresmikan, umat pun semakin berkembang dan dirasakan kebutuhan bangunan gereja yang dapat menampung umat yang banyak. Pada tahun 1991, masa kerja Dewan Paroki periode 1 telah selesai dan digantikan Dewan Paroki II. Pada tahun yang sama, Pst. Chris Tukiyat, OSC berkenan meletakkan batu pertama untuk pembangunan Gedung Aula Serbaguna (GASENA) pelaksanaan pembangunannya dikerjakan oleh PT Grahita Wicaksana Sadwinaya selama +/- 10 bulan. Tepatnya 30 Agustus 1992, Gedung Aula Serbaguna diresmikan oleh Pst. A. Istiarto, OSC sebagai wakil provinsial OSC. GASENA terdiri dari 2 lantai yaitu lantai untuk ruang-ruang kegiatan dan lantai 2 untuk kegiatan ibadat dan dapat menampung +/- 1000 umat.
Tanggal 3 November 1995 Stasi Ascencio Serpong, dipisahkan dari paroki Santo Agustinus menjadi Paroki Serpong dengan nama pelindung St. Monika. Hal yang menggembirakan adalah bahwa Paroki Santa Monika sudah dapat langsung mendapat lahan yang memadai serta ijin mendirikan gereja berkat kerja sama dengan pihak pengembang Bumi Serpong Damai (BSD).
Kenyataan yang berbeda dengan yang dialami oleh umat di paroki Santo Agustinus. 24 tahun lamanya umat mengusahakan dan menantikan ijin mendirikan gereja. Sejak awal pendiriannya hingga akhir tahun 2012, umat masih harus puas dengan gereja yang masih menggunakan nama gedung serbaguna Strada. Panitia Pembangunan Gereja (PPG) terus berusaha mendapatkan ijin itu dengan melalui berbagai prosedur yang panjang dan berliku-liku. Surat Keputusan Bersama (SKB)/ Surat Peraturan Bersama (SPB) 2 Menteri tentang Pendirain Rumah Ibadah SP No. 8 dan No. 9 tahun 2006 lebih mempersulit lagi proses itu. Penolakan-penolakan dari pihak-pihak tidak bertanggung jawab yang mengaku-ngaku sebagai warga sekitar gereja pun kerap terjadi. Namun hal itu tidak menyurutkan semangat, usaha PPG dan doa-doa dan harapan umat paroki Santo Agustinus.
Pada tanggal … Desember … surat ijin itu pun diperoleh. Kegembiraan umat disalurkan dalam Langkah Bersama Menuju 25 tahun Paroki Santo Agustinus. Sukacita umat atas terbitnya surat ijin mendirikan rumah ibadah itu diungkapkan dalam usaha bersama untuk membangun gedung gereja yang lebih layak dan pantas.
Lantas apa lagi ?
25 Tahun perjalanan Paroki Santo Agustinus Tangerang dipenuhi dengan semangat umat yang terus membara untuk bisa beribadah dengan lebih khidmat di tempat yang pantas dan aman. Segala bentuk hambatan dan tantangan tidak dapat menyurutkan sedikit pun api semangat itu. Umat tetap terus berdoa dan melangkah bersama.
Sekarang cita-cita dan harapan itu sudah berhasil diraih. Kini apakah api semangat itu tidak diperlukan lagi?
“Pembangunan Gereja tidak boleh berhenti pada pembangunan fisik gedung gereja,” begitu harapan dari beberapa pengurus dan anggota PGDP pertama Paroki Santo Agustinus. “Pembangunan iman umat dan pelayanan terhadap seluruh umat dan masyarakat sekitar perlu terus ditingkatkan. Semangat yang sejak dulu sudah menyala dan berkobar-kobar itu harus tetap ada dalam bentuk yang berbeda, dalam pelayanan dan semangat saling meneguhkan untuk semakin beriman, semakin bersaudara dan semakin berbelarasa”. (I-bro)