Dialog Kebangsaan : Kebhinekaan dalam Dinamika Politik
Berawal dari keprihatinan akan maraknya ‘kebencian’ dan anti kebhinnekaan yang beredar melalui media sosial belakangan ini, dan potensi maraknya isu SARA dihembuskan dalam dinamika politik belakangan ini, Ketua PAC GP Anshor Kec. Tangerang, Jajat Sudrajat mencoba merangkul dan mengajak STISNU Nusantara, Himpunan Mahasiswa Budhist Indonesia (Hikmah Budhi) cabang Tangerang, dan Orang Muda Katolik (OMK) Paroki Karawaci, Gereja Katolik Santo Agustinus yang berada di wilayah kota Tangerang untuk menjalin tali silaturahmi. Gayung bersambut, diskusi berjalan, rencana menggagas sebuah diskursus mengenai kebhinekaan dalam dunia potlitik pun terealisasi. Panitia gabungan dari GP Anshor, Himah Budhi dan OMK berjalan dibawah pimpinan Jajat Sudrajat, selaku Ketua Panitia.
Lebih dari 250 orang terdaftar hadir pada hari yang ditentukan. Minggu, 18 Maret 2018 seolah menjadi titik awal lahirnya kesadaran akan kesatuan dalam keberagaman.
Pembicara dalam diskusi itu adalah: Bapak K.H. Arif Hidayat, Khatib Syuriah PCNU Tangerang yang juga menjabat sebagai Sekretaris Fatwa MUI Kota Tangerang, dosen pada Sekolah Tinggi STISNU Nusantara, dan seorang penyair sufistik. Dari pihak agama Budha adalah Romo Harmanto, anggota FKUB Kota Tangerang. Sedangkan dari pihak Gereja Katolik diwakili oleh Bapak Rafael Udik Yunianto, yang juga anggota FKUB Kota Tangerang.
Uniknya, sejak awal kedatangan dan registrasi peserta tak tampak sedikit pun kerikuhan di antara peserta yang nota bene secara keyakinan berbeda. Semua peserta saling sapa, saling bertukar senyum. Bahkan sesekali terdengar gelak tawa pecah dalam perbincangan di antara mereka.
Romo Harmanto dalam pemaparannya menyatakan bahwa kebhinekaan adalah kenyataan dan keniscayaan yang tak dapat dihindari. Tidak ada masyarakat yang tunggal. Kita diciptakan oleh Tuhan sebagai suatu bangsa yang bermacam-macam.
Pada dasarnya manusia diciptakan dalam kelompok rasa atau etnis yang berbeda-beda. Dan manusia tidak bisa memilih untuk dilahirkan dalam bagian ras/etnis tertentu. Perbedaan etnis tidak dapat menjadi dasar perbedaan hak dan kewajiban dalam suatu bangsa, dalam hidup bernegara. Maka semua harus menyatu dan bersama-sama mengisi pembangunan bangsa ini.
Pemuka agama Budha di kota Tangerang ini juga menegaskan bahwa generasi muda harus mulai dapat berperan serta untuk memimpin bangsa, menuju Indonesia yang bermartabat. Di sisi lain, Romo Harmanto melihat bahwa generasi muda berada dalam bahaya besar, NARKOBA. Narkoba diyakini merupakan senjata yang dipergunakan untuk merusak bangsa, di samping isu-isu SARA, penyebaran virus kebencian.
“Jangan ada dusta di antara kita, “ kata K.H. Arif Hidayat. Menurut Kyai yang asli Tangerang itu, isu perbedaan, isu kebhinnekaan, isu SARA masih sering digulirkan, walupun sebenarnya “tidak menarik”. Kalau ada ada elite politik yang masih menjual isu ‘pribumi’ maupun SARA, harusnya sudah tidak laku lagi. Maka, jangan ada dusta di antara kita,” tegasnya.
“Yang harus ditanamkan kepada anak-anak kita adalah bahwa Agama tidak perlu dibela. Justru yang harus dipertahankan adalah negeri ini. Jadi tidak boleh ada dusta di antara kita. Bangsa kita masih memiliki Pekerjaan Rumah (PR) yang belum selasai menyangkut Bhinneka Tunggal Ika. Selama isu-isu perbedaan, isu-isu agama, ras masih laku PR kita sebagai bangsa belum selesai. Indonesia akan selamat, jika isu-isu itu tidak laku lagi.”
“Politik adalah segala sesuatu yang menyangkut masyarakat, menyangkut masalah-masalah umum,” Bapak Rafael Udik menjelaskan definisi politik dalam konteks netral. Politik berjalan melenceng ketika para wakil rakyat tidak lagi berorientasi kepada kemaslahatan masyarakat, melainkan berorientasi pada kekuasaan. Hal kedua yang jadi penyebabnya adalah ketika para elite hanya memperjuangkan kelompok-kelompoknya sendiri. Dan yang ketiga, adalah cara-cara yang dipakai untuk menduduki jabatan sebagai wakil-wqakil rakyat, menggunakan cara-cara yang “keliru”, menggunakan segala cara untuk mencapai kekuasaan. Salah satu yang dipakai adalah isu yang menyangkut perbedaan.
Sebagai pembicara yang mewakili umat Katolik, Bapak Rafael Udik Yunianto menyebutkan 4 hal yang membuatnya optimis kepada bangsa ini terhadap isu kebhinnekaan. Yang pertama adalah kepada ‘generasi jaman now’ yang memiliki mindset bahwa isu kebhinnekaan sudah basi, walaupun baumya masih ada. ‘Generasi jaman now’ Tidak mudah terprovokasi dengan isu-isu di mana kebhinnekaan dijadikan komoditas politik.
Benteng yang kedua adalah kesadaran politk masyarakat yang semakin tinggi. Kesadaran itu tampak ketika terjadi peristiwa, umumnya hanya dilihat sebagai ‘perbuatan’ orang-orang tertentu yang tidak dapat mewakili agama, ras/etnis atau golongan tertentu. Yang ketiga adalah kelas menengah yang mempunyai akses teknologi, komunikasi, kelas yang mempunyai akses ‘ke atas dan ke bawah’, dan mempunyai kekuatan finansial. Dan banteng keempat adalah ormas atau LSM yang memiliki visi kebangsaan Indonesia.
Kekhawatiran bahwa kebhinnekaan akan dipakai sebagai komoditas politik, di jaman sekarang ini agaknya dapat terbentengi oleh keempat hal yang sampaikan oleh Bapak Rafael Udik Yunianto.
Tepuk tangan hadirin riuh menyetujui yang disampaikan oleh para pembicara. Tepuk tangan lebih riuh lagi, ketika Paduan Suara OMK Gereja Santo Agustinus, Paroki Karawaci yang berbusana daerah menyanyikan lagu ‘Yaa Lal Wathan’ dan lagu ‘Kita Bhinneka, Kita Indonesia’.
Ketiga pembicara mengapresiasi semangat anak-anak muda yang ingin menjalin tali silaturahmi dan berharap setiap orang yang hadir dapat menjadi agen-agen perdamaian, dapat menjadi pembawa kasih, dan penegak toleransi antar umat beragama, seperti yang harapkan oleh para pemrakarsa acara ini.
Mari kita galang kebersamaan dengan sesama di sekitar kita. Mulai membangun tali silaturahmi dan menjadi agen-agen perdamaian mulai dari lingkungan sekitar kita, dan bersama-sama melawan kebencian, melawan ‘anti kebhinekaan’.
Kita Bhinneka, Kita Indonesia.
I-Bro