Menjadi Pencerita dan Penerima yang Baik di tengah Covid-19
Setiap manusia merupakan pencerita dan penerima cerita dalam kehidupannya, dengan membahas informasi yang sedang diperbincangkan. Apalagi, di tengah pandemi global covid-19 (virus corona baru) sekarang ini. Namun jika tanpa disaring terlebih dahulu, maka kita akan mudah terbawa arus menyebarkan informasi palsu (hoax). Bapak Paus Fransiskus pun sempat membahasnya dalam pesan Hari Komunikasi Sosial Sedunia 2020, yaitu Hidup Menjadi Cerita.
“Sebagai makhluk pencerita, manusia dipengaruhi oleh beragam cerita yang membantunya memahami siapa dirinya sesungguhnya dan menjaga hidupnya,” pesan Bapak Paus.
Saya sangat setuju. Apalagi tidak semua cerita baik, terutama Ketika cerita bohong atau hoax disebarkan berulang-ulang. Contohnya, beberapa teman saya pernah terpengaruh oleh hoax dari broadcast WhatsApp. Dikatakan bahwa covid-19 bisa menular melalui handphone buatan Cina. Sontak beberapa teman yang memiliki handphone tersebut merasa khawatir, cenderung ketakutan. Dikatakan juga masker dapat melindungi diri dari virus dan hanya menyerang kelompok rentan. Maka baginya, remaja boleh bebas beraktivitas di luar rumah asalkan menggunakan masker.
Saya pun teringat banyak orang berbondong-bondong pergi ke gerai McDonals Sarinah Jakarta, demi mengabadikan momen terakhir. Mereka mempublikasikannya sebagai konten di media sosial. Termasuk teman saya, yang awalnya tidak ragu pergi ke McDonals Sarinah di hari terakhir restoran itu buka. Ia mendapatkan kabar bahwa akan aman walau di tengah pandemi covid-19. Setibanya di sana, ia sadar terdampak hoax, karena ternyata ada banyak orang di lokasi itu. Tetapi karena sudah terlanjur datang, teman saya pun pasrah dan menikmati susana.
Waktu berlalu, teman saya panik setelah tahu orang yang ditemuinya di Mc.D Sarinah ternyata positif covid-19. Ya, tidak sesederhana yang kita bayangkan, karena siapapun bisa terpapar covid-19. Keluarganya pun menyalahkan dirinya karena terpengaruh pergi ke lokasi itu, menyebabkan pertengkaran di rumah. Bukan hanya itu saja pengaruhnya. Hoax bisa juga bisa merusak hubungan pertemanan atau persaudaraan
Hoax, Memicu Pertengkaran
Pada suatu Ketika, teman saya menyebarkan pesan di grup WhatsApp tentang keharusan pemakaian disinfektan. Benda di sekitar rumah wajib disemprot dengan cairan disinfektan demi menghalang penyebaran virus corona. Informasi itu pun dijadikan bahan promosi untuk dagangan teman saya.
Celakanya, disinfektan disemprotkan ke barang apa pun yang berasal dari luar rumah, termasuk obat-obatan dan makanan. Salah satu teman saya dengan geram mengatakan informasi itu salah. Argumen yang dipenuhi emosi pun terjadi.
Saya mencoba bertekad menyampaikan fakta bahwa disinfektan tidak boleh sembarang digunakan. Agar tidak menyinggung teman yang berjualan disinfektan, saya menjelaskan cairan itu boleh disemprotkan ke benda-benda tertentu. Sebagai penguat pernyataan, saya sertakan link berita yang kredibel mengenai disinfektan.
Tidak hanya itu, banyak hoax juga menyebar di kalangan public figure, contohnya tentang cerita konspirasi di tengah covid-19. Akibatnya, tidak sedikit masyarakat yang melirik bahkan meyakini, hingga menyudutkan pihak tertentu. Padahal, kita tidak tahu apakah informasi itu benar.
Mirisnya cerita tersebut sampai di satu komunitas katolik. Timbulah perbedaan pandangan, perdebatan, mudah tersinggung, hingga permusuhan. Padahal, seharusnya umat katolik Indonesia dapat memaknai sekaligus menerapkan semboyan Bhinneka Tunggal Ika dan hukum kasih yang diajarkan Yesus Kristus. Lalu, apakah pantas menyebarkan cerita yang mengakibatkan perpecahan dan sakit hati bagi sesama?
Mencari Fakta dan Membagikannya
Menurut saya, di tengah wabah corona baru ini penyebaran informasi positif perlu dilakukan. Meskipun setiap orang bebas berpendapat, namun sebaiknya tidak menyimpang dari fakta atau membelah persatuan. Hal ini dibahas dalam pesan Paus Fransiskus untuk Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke-54.
“Karena itu, manusia harus bijaksana dan berani menolak cerita palsu dan jahat dan kembali mencipta cerita-cerita indah, benar, dan baik,” kata Paus.
Supaya manusia memahami dirinya dan menjaga hidupnya, perlu pertimbangan ketika hoax tersebar di grup WhatsApp. Apakah hoax itu berhenti di kita sebagai pendengar yang baik, atau kita menjadi pencerita yang buruk karena ikut menyebarkannya?
Memang tidak mudah untuk menjahit kembali yang putus dan terbelah akibat hoax. Tetapi dengan upaya yang tepat, perlahan akan tercipta kedamaian. Mari menyebarkan cerita baik kepada orang-orang di sekitar kita, agar tidak ada kekhawatiran atas ketidakpastian.