Senyum Terindah
Hujan gerimis mengiringi putaran roda sepeda motorku meninggalkan kantor. Waktu sudah menunjukkan pukul 19.30 ketika aku mulai memasuki komplek tempat tinggalku. Ternyata sudah hampir satu jam kuhabiskan waktu menembus keramaian jalan raya dan rintik hujan gerimis. Macetnya arus lalu lintas di sepanjang perjalanan membuatku merasa sangat lelah.
Sebuah warung nasi uduk di pinggir jalan menarik perhatianku. Aroma masakan khas betawi itu menggugah rasa lapar. Aku pun segera menepi. Terbayang hangatnya nasi dan sambal yang pedas dapat menyegarkan kembali tubuh penatku yang kedinginan.
“Bu, nasi satu ya bu…,” ucapku kepada ibu penjual nasi uduk.
“Pakai lauk apa, Mas?” tanya si ibu sambil mengelap piringdan sendok.
“Telur balado, bihun goreng, orek tempe dan semur tahu saja,” jawabku sambil melepas jas hujan dan jaket.
Baru beberapa suap kunikmati, dua orang bocah bernyanyi sambil meletakkan sebuah amplop kecil di sebelah piringku. Selera makanku jadi terganggu. Kulirik amplop itu dan ternyata terdapat suatu kalimat yang berbunyi: “Mohon bantuan seikhlasnya. Kami mengamen untuk biaya sekolah dan makan sehari-hari.”
Aku berusaha untuk tidak memperhatikan suara mereka yang agak serak. Namun aku tak mampu menahan rasa penasaran untuk melihat seperti apa wajah kedua anak itu. Kulirik seorang anak laki-laki bertepuk tangan sambil bernyanyi dan mengedarkan amplop kepada para pelanggan warung yang sedang menikmati nasi uduk. Seorang anak perempuan kecil, mungkin adiknya, berdiri memeluk tubuhnya sendiri yang kelihatan basah dan lusuh.
“ Maaf ya, Dik,” ucapku ketika si bocah laki-laki menghampiri mejaku untuk mengambil kembali amplopnya.
Senyum kecewa tersembul dari wajah kecilnya. Anak berusia sekitar 10 tahun itu berlalu menuju meja lainnya. Sementara adik perempuannya menunggu di sudut warung. Tak lama kedua bocah tadi berlari menerobos gerimis malam menuju emperan toko di seberang jalan. Mereka membuka amplop-amplop yang baru saja dikumpulkannya. Entah berapa rupiah yang mereka dapatkan. Tapi seiingatku hampir tak ada pengunjung warung ini yang mengisi amplop-amplop tadi, termasuk aku.
Seorang pengemudi taksi beranjak dari kursinya. “Nasi pakai semur jengkol dan telur dadar berapa, Bu?”
“Dua belas ribu, Pak,” jawab si ibu penjual nasi uduk.
“Tolong dua bungkus lagi ya bu, pakai mi goreng, semur tahu dan telur dadar,” pinta sang pengemudi taksi.
Sesaat kemudian telepon genggam pengemudi taksi tadi berdering, dan segera dijawabnya. Entah apa yang dibicarakannya, tapi kelihatannya serius sekali. Wajahnya mendadak terlihat pucat.
“Dua bungkus ini lima belas ribu, Pak,” kata ibu penjual nasi uduk seraya menyodorkan kantong kresek berisi dua bungkus nasi sesuai pesanan.
Dan setelah membayar semua pesanannya, ia mendekatiku. Mungkin karena kebetulan aku yang terdekat dengannya.
“Permisi, Mas. Saya mau minta tolong. Anak saya sakit dan saya harus segera pulang,” katanya dengan sorot mata nanar.
“Apa yang bisa saya bantu, Pak?”
“Tolong berikan ini untuk kedua anak pengamen di seberang jalan itu. Kasian mereka, kelihatannya kedinginan dan kelaparan. Tolong ya, Mas…. Terima kasih, Mas.” Belum sempat kujawab permintaan tolongnya, pengemudi taksi itu sudah berlari ke arah taksinya dan segera tancap gas. Aku seperti orang bodoh yang melongo tak tahu harus berkata atau bertindak apa.
Terkejut, bingung dan penyesalan berbaur jadi satu dalam benakku. Dua bungkus nasi tergeletak di atas meja di depan mataku.
Aku yang selalu merasa terganggu oleh para “pengamen tidak jelas” setiap kali menikmati hidangan di rumah makan atau warung dihadapkan pada dua bungkus nasi yang sudah dibayari dan harus diberikan kepada dua orang bocah pengamen. Dua bungkus nasi itu seperti dua buah batu yang dilemparkan tepat mengenai kepalaku, tepat menghantam Ego-ku.
Sedih dan malu menyergap batinku. Aku seorang karyawan berpenghasilan tetap tak pernah peduli, bahkan kerap merasa terganggu dengan kehadiran mereka yang kecil, miskin dan menderita. Aku kerap mencibir kepada mereka yang memohon bantuan kepadaku. Dan ternyata yang kupikirkan selama ini hanya aku, aku dan diriku sendiri.
Hari ini, malam ini kuhampiri dua orang pengamen cilik. Ini adalah pengalaman pertama seumur hidupku. Untuk pertama kalinya aku menyodorkan dua bungkus nasi kepada dua anak kecil yang selama ini kerap kuanggap sebagai ‘pengganggu’. Untuk pertama kali pula aku menerima senyum hangat penuh syukur dari sesama. Senyum yang sangat indah, bahkan senyum mereka adalah senyum terindah yang pernah kulihat.
Tuhan mengetuk hatiku lewat seorang pengemudi taksi. Tuhan menampar ego-ku dengan dua bungkus nasi uduk. Dan aku bersyukur karena Tuhan juga memberiku senyuman terindah. Senyuman yang selalu ingin kulihat lagi.
By: Margi Pramono