Tiga Makna “Amin” Dalam Perayaan Ekaristi
Kata “amin” merupakan kata terpendek yang diucapkan oleh umat dalam Perayaan Ekaristi. Akan tetapi, seringkali kita mengucapkannya pada saat yang tidak tepat atau bahkan kita tidak mengucapkannya sama sekali pada saat dibutuhkan. Kata “amin” berasal dari bahasa Ibrani yakni emunah yang dapat diterjemahkan dengan kuat, teguh, atau solid yang biasanya dihubungkan dengan gagasan akan iman dan kesetiaan. Penggunaan kata “amin” sebagai formula liturgi yang singkat dan sederhana dapat digunakan sebagai penutup doa tetapi juga sebagai pengakuan iman yang otentik. Selain itu, kata “amin” sebagai aklamasi dalam Perayaan Ekaristi dapat dimaknai sebagai jawaban umat untuk menunjukkan persetujuan, peneguhan atau kekuatan iman umat sendiri. Pada akhirnya, kata “amin” dapat dipahami sebagai elemen mendalam sebagai ekspresi umat beriman dalam berelasi dengan Tuhan. Oleh karena itu, dalam tulisan ini akan disebutkan beberapa kesempatan kapan saja umat beriman mengucapkan kata “amin” dalam Perayaan Ekaristi dan ketiga makna kata “amin” tersebut dalam Perayaan Ekaristi.
Conclusio orationum
Makna pertama kata “amin” adalah sebagai conclusio orationum atau sebagai penutup doa-doa yaitu doa-doa presidensial dalam Perayaan Ekaristi. Doa yang pertama adalah doa kolekta atau doa pembuka. “Lalu, sambil membuka tangan imam mengajak umat: Marilah kita berdoa, lalu langsung mengatupkan tangan. Semua hadirin bersama dengan imam berdoa sejenak dalam hati. Setelah itu, imam merentangkan tangan dan membawakan doa pembuka (kolekta), yang ditutup oleh umat dengan seruan: Amin (bdk. PUMR 54, 127, 259)”. Berikutnya, doa atas persembahan. “Kemudian imam kembali ke tengah, dan menghadap ke arah umat. Sambil membuka tangan ia mengajak umat berdoa: Berdoalah, Saudara-saudara,… Umat berdiri dan menanggapi ajakan imam dengan berdoa: Semoga persembahan ini…. Sesudah itu, sambil merentangkan tangan imam membawakan doa atas persembahan yang ditutup oleh umat dengan seruan Amin (bdk. PUMR 146)”. Selain itu, Doa Ekaristi atau Doa Syukur Agung. “Pada akhir Doa Syukur Agung, imam mengambil piala dan patena dengan hosti di atasnya dan mengangkatnya sambil melagukan atau mengucapkan doksologi Dengan pengantaraan Kristus…. Umat menanggapi doksologi ini dengan aklamasi Amin. Kemudian imam meletakkan piala dan patena di atas korporale” (bdk. PUMR 79, 147, 151, 180)”. Selanjutnya, doa sesudah komuni. Kemudian, sambil berdiri di depan tempat duduk atau di belakang altar, imam menghadap ke arah umat dan sambil membuka tangan berkata: Marilah kita berdoa, lalu mengatupkan tangan. Semua berdoa sejenak dalam hati, kecuali kalau saat hening sudah dilaksanakan langsung sesudah komuni. Lalu, sambil merentangkan tangan imam mengucapkan doa sesudah komuni, dan, pada akhir doa, umat menyerukan aklamasi Amin (bdk. PUMR 89, 165)”.
Sebagai penutup doa-doa, kata “amin” yang diucapkan oleh umat melengkapi dan menyempurnakan bagian utuh doa yang dibawakan oleh imam. Kata “amin” yang diucapkan umat sebagai bagian penutup doa presidensial pada akhirnya membuat doa-doa tersebut menjadi doa mereka sendiri. St. Yustinus Martir dalam Apologi 1, hlm. 92-93 menegaskan bahwa kata “amin” menunjukkan persetujuan atas doa yang dibawakan oleh imam. Umat mengambil bagian dalam doa presidensial dengan seruan atau jawaban “amin” untuk menggenapi rumusan doa tersebut yang secara tepat telah diatur dalam eucologia (ilmu tentang doa). Imam secara khusus selebran utama berdoa sebagai pemimpin sedangkan umat mengamini doa-doa tersebut sebagai bentuk persetujuan dan bentuk kepercayaan terhadap doa tersebut.
Confessio fidei
Makna kedua kata “amin” adalah sebagai confessio fidei atau sebagai pengakuan iman. Wujud nyata confessio fidei dalam Perayaan Ekaristi terlihat pada saat umat menjawab “amin” sebelum menerima komuni. “Kalau komuni dibagikan hanya dalam rupa roti, imam mengangkat sedikit dan menunjukkan hosti kepada masing-masing orang yang menyambut sambil berkata: Tubuh Kristus. Masing-masing orang menjawab: Amin ( bdk. PUMR 161, 185, 286,287)”. Jawaban “amin” dalam konteks ini menngungkapkan kesungguhan iman akan hosti yang akan disantap. Umat beriman sungguh yakin bahwa hosti yang diberikan oleh Imam adalah sungguh Kristus yang akan disantap dengan hormat. Mengatakan “amin” pada saat ritus komuni didasarkan pada iman yang bisa diartikan sebagai “ya”, “siap”, “setuju”, “demikian”, “oke” dan ungkapan lain yang mengakui bahwa Yesus sendirilah yang akan kita santap. Akan tetapi kata “amin” adalah kata liturgis yang digunakan dalam Perayaan Ekaristi dan sebaiknya umat tidak mengganti kata “amin” dengan ungkapan lain walaupun bisa bermakna sama.
Sebenarnya kebiasaan mengatakan “amin” sebelum menerima komuni sudah ada sejak abad-abad awal. Dalam tradisi apostolik sekitar tahun 215, St. Hipolitus berpendapat bahwa kata “amin” menegaskan kesaksian iman setiap orang untuk menyantap roti surgawi yang diterimanya. Umat beriman percaya bahwa roti yang turun dari surga adalah roti yang akan mereka santap dalam rupa Tubuh Kristus (bdk. St. Hipolitus, Traditio Apostolica 21,144). St. Cirilus dari Yerusalem sekitar 387 menjelaskan secara detail bagaimana cara menyambut komuni yakni simbol Kristus sendiri. “Jadikanlah telapak kiri sebagai takhta bagi tangan kanan untuk mengambil “raja” dan terimalah tubuh Kristus dengan menjawab “amin” (bdk. Lucien Deis, Vision of Liturgy and music for a new century, 67).
Confirmatio responsus
Makna ketiga kata “amin” adalah sebagai confirmatio responsus atau sebagai konfirmasi dari jawaban. Jawaban yang dimasud adalah jawaban umat atas perkataan imam dalam ritus-ritus tertentu. Ritus pertama adalah pada saat imam bersama dengan seluruh umat membuat tanda salib sementara imam berkata: Dalam nama Bapa, dan Putra, dan Roh Kudus, dan umat menjawab: Amin (bdk. PUMR 124). Ritus yang lain adalah Berkat dan Pengutusan. Pada saat imam memberkati umat dengan berkata: Semoga saudara sekalian diberkati oleh Allah yang Mahakuasa, Bapa, dan Putra, dan Roh Kudus. Umat menjawab: Amin (bdk. PUMR 167, 185). Langsung sesudah berkat, imam mengatupkan tangan dan berkata: Perayaan Ekaristi sudah selesai. Umat menjawab: Syukur kepada Allah. Kemudian, imam melanjutkan: Pergilah! Saudara diutus, dan umat menjawab: Amin (bdk. PUMR 168).
Ritus selanjutnya adalah ritus damai. Sementara menyampaikan salam-damai, umat berkata Damai Tuhan, dan dijawab Amin (bdk. PUMR 154). Ritus yang lain adalah pada saat bait pengantar Injil dilagukan, diakon membantu imam mengisi pedupaan. Kemudian ia membungkuk khidmat di depan imam dan meminta berkat. Diakon membuat tanda salib dan menjawab: Amin (bdk. PUMR 175). Ritus yang lain lagi adalah pada saat mendoakan atau menyanyikan ritus Tobat, Gloria dan Credo, umat mengakhirinya dengan kata “amin”.
Demikianlah ketiga makna kata “amin” dijelaskan secara singkat dan semoga membantu umat agar mengatakannya dengan lantang pada saat yang tepat selama Perayaan Ekaristi berlangsung.
RP. Riston Situmorang OSC
Dosen Liturgi Fakultas Filsafat UNPAR