Homili Uskup Agung Jakarta Dalam Misa Syukur Pemberkatan Gereja Santo Agustinus, Paroki Karawaci – Tangerang
Mgr. Ign. Suharyo.
Para ibu dan Bapak, para Suster, Kaum Muda, Remaja dan Anak-anak yang terkasih, Umat Paroki Karawaci yang berbahagia. Pertama-tama mewakili Keuskupan Agung Jakarta (KAJ), dengan penuh syukur saya ingin mengucapkan selamat Pesta Pelindung Paroki, Santo Agustinus. Selamat mensyukuri Hari Ulang Tahun yang ke-30 Paroki Karawaci ini. Dan selamat pula atas renovasi gereja yang sudah selesai dan pada hari ini akan dipersembahkan kepada Tuhan.
Terima kasih kepada seluruh umat paroki yang dengan satu dan lain cara ikut terlibat di dalam kehidupan bersama seluruh umat di paroki ini. Ada yang ikut ambil bagian di dalam pelayanan kepemimpinan. Ada yang ikut ambil bagian di dalam berbagai macam peran, baik besar maupun kecil. Moga-moga kerelaan berkorban para Ibu dan Bapak, Kaum Muda, Remaja, dan Anak-anak sekalian menjadi pujian kemuliaan bagi Tuhan dan sekarang merasakan kegembiraan karena sesudah 30 tahun ada gereja yang resmi, bukan gereja yang “diam-diam”.
Tentu terima kasih kepada para imam yang dengan tekun melayani umat dan mencari berbagai macam jalan agar umat di paroki ini semakin bertumbuh di dalam iman, bertumbuh di dalam persaudaraan, dan tentu saja juga bertumbuh di dalam bela rasa. Terima kasih kepada Provinsi Salib Suci Indonesia — pimpinannya, Pastor Provinsial, ada di antara kita. Provinsi yang selalu mengutus imam-imamnya untuk melayani dan memimpin bersama dengan seluruh umat paroki ini.
Saudari-saudaraku yang terkasih,
Gedung paroki, gedung pastoral boleh selesai dibangun dan harus. Namun yang namanya pembinaan hidup iman, itu tidak akan pernah selesai. Dan sejauh dapat saya baca, cita-cita umat di paroki ini terungkap di dalam pilihan-pilihan bacaan pada hari ini. Satu-dua renungan singkat ingin saya sampaikan. Saya mulai dengan bacaan yang kedua yang diambil dari surat Santo Yohanes. Santo Yohanes Rasul mengajak umatnya untuk saling mengasihi. “Marilah kita saling mengasihi”. Pertanyaannya: Mengapa Rasul Yohanes mengajak umatnya untuk saling mengasihi? Bolehkan bertanya begitu? Saya jawab sendiri, kecuali kalau ada yang mau. Rasul Yohanes mengajak umatnya (ia pemimpin gereja di Efesus) untuk saling mengasihi karena umatnya tidak rukun. Kalau sudah rukun, tidak usah diajak mereka sudah saling mengasihi. Tetapi karena mereka tidak rukun, maka Rasul Yohanes yang memimpin Gereja di Efesus mengatakan kepada jemaatnya, “Mari kita saling mengasihi.”
Kalau kita membaca sejarah Gereja Katolik, sejak awal abad pertama-abad kedua ada 3 pusat Gereja pada waktu itu (Karawaci belum lahir, tentu saja). Pusat pertama adalah Yerusalem. Pusat kedua adalah Efesus dan pusat ketiga adalah kota yang namanya Anthiokia. Mungkin itu agak asing. Anthiokia itu ada di mana? Ya, gampangannya di sebelah Barat Karawaci, gitu saja. Jauh. Yang memimpin Gereja Yerusalem adah Yakobus, saudara Tuhan. Tetapi Gereja itu habis, tidak ada bekasnya. Karena apa? Karena keras. Mereka memegang tradsisi keras, orang-orang Yahudi yang fundamentalis pada waktu itu, sehingga orang-orang yang bukan Yahudi tidak diijinkan masuk ke dalam Gereja. Kalau masuk di dalam Gereja, menjadi murid Kristus, harus menjadi Yahudi dulu, mengikuti aturan-aturan Yahudi. Lha, siapa mau? Maka Gereja itu habis.
Pusat yang kedua adalah Efesus. Yang memimpin adalah Yohanes, yang menulis surat tadi. Gereja itu juga habis, bubar. Karena apa? Karena terlalu banyak berkelahi. Kalau hanya berkelahi saja, wajar. Tetapi kalau terlalu banyak, sudah dinasihati, “Hendaklah kamu saling mengasihi,” nasihatnya tidak mempan. Ya, selesai. Tinggal pusat yang ketiga, yaitu di Anthiokia. Gereja ini bertumbuh di bawah pimpinan Santo Barnabas yang kemudian mempunyai murid, yang namanya Rasul Paulus. Kalau hari ini di Karawaci ini ada pusat Gereja, itu bukan dari Yerusalem, bukan dari Efesus, tapi dari Anthiokia. Menjadi pusat Gereja yang menyebar ke seluruh dunia.
Nah, saya duga — moga-moga saya tidak salah – Paroki Karawaci, Gereja Santo Agustinus ini mempunyai niat, tercermin di dalam bacaan-bacaan tadi, untuk menjadi ‘Gereja yang hidup’. Tidak seperti Gereja Yerusalem pada jaman itu. Tidak seperti Gereja Efesus pada jaman itu yang tutup. Tetapi menjadi seperti Gereja Anthiokia yang hidup, yang bertumbuh, yang kreatif karena keterlibatan seluruh umatnya. Saya yakin, saya tidak salah kalau menebak bahwa cita-cita umat paroki Karawaci adalah menjadi Gereja yang hidup.
Pertanyaannya, (saya bertanya terus, saya jawab sendiri terus) pertanyaannya adalah: Syarat apa yang mesti kita penuhi supaya Gereja kita ini menjadi Gereja yang hidup? Syaratnya banyak. Saya menyebut dua saja, yang berkaitan dengan paroki dan perayaan ekaristi.
Untuk Injil dipilih “Yesus Sebagai Gembala yang Baik”. Ciri gembala yang baik adalah menyerahkan nyawanya untuk domba-dombaNya. Kalau ini dipilih, Gembala yang baik yang menyerahkan hidupNya untuk domba-dombaNya. Saya yakin syarat pertama ini harus terpenuhi, dan pelan-pelan pasti akan terpenuhi, yaitu semua yang terlibat di dalam pelayanan kepemimpinan di paroki ini mesti mempunyai jiwa martir. Jadi nanti Romo Suwarno dan kawan-kawan itu rela menjadi martir. Gembala yang baik rela menyerahkan nyawanya. Dan ini bukan sesuatu yang istimewa. Kalau membaca sejarah Keuskupan Agung Jakarta, bukunya tebal, yang dikeluarkan pada waktu Keuskupan Agung Jakarta memperingati 200 tahun. Buku yang yang tebal itu judul permulaan : “Pada Mulanya Adalah Martir”. Jadi kalau gereja kita termasuk Karawaci ini menjadi seperti sekarang ini, karena ada banyak martir yang sudah menumpahkan darahnya demi biji yang ditaburkan oleh Kristus. Gampangannya begini, silahkan membayangkan : Jakarta 210 tahun yang lalu seperti apa? Karawaci 210 tahun yang lalu seperti apa?
Para misionaris yang membawa kabar ke sini tidak semua sudah matang, artinya usianya sudah katakanlah medior. Banyak suster-suster, bruder-bruder, imam-imam yang baru saja lulus lalu noviciat usia 22 -23 tahun dikirim dari Belanda ke sini. Perjalanan panjang 3 bulan, 4 bulan, ada yang satu tahun naik kapal. Sampai di sini siapa yang menyambut? Pasti bukan dewan paroki dengan seragam yang batik bagus-bagus itu. Yang menyambut mereka di Jakarta adalah wabah kolera, wabah malaria, wabah-wabah yang lain. Dan tidak sedikit yang dalam waktu 2-3 bulan tidak tahan, meninggal. Itulah marti-martir yang darahnya menyuburkan gereja di Keuskupan Agung Jakarta, tentu termasuk paroki Karawaci ini. Maka dipilihlah, sejauh dapat yang saya tafsirkan, bagian Injil yang menyatakan bahwa Yesus adalah Gembala yang baik, yang menyerahkan nyawaNya untuk domba-dombaNya.
Syarat pertama supaya paroki ini dapat menjadi paroki yang hidup, yang kreatif seperti Gereja Anthiokia adalah ketika semua yang terlibat di dalam pelayanan kepemimpinan rela menjadi “martir-martir keji”.
Syarat yang kedua saya ambil dari salah satu kalimat yang sangat terkenal dari Santo Agustinus, pelindung paroki ini. Salah satu kalimat yang sangat terkenal dari Santo Agustinus kira-kira bunyinya begini: “Tuhan, aku tidak tenang sebelum aku menemukanMu di dalam hatiku”. Ini bukan hanya pemimpin yang harus berkata begitu. Tetapi seluruh umat di paroki Karawaci itu mesti mewarisi semangat Santo Agustinus yang merasa tidak tenang hatinya sebelum menemukan Tuhan. Kalau semua warga Paroki Karawaci ini menemukan Tuhan, berusaha dari hari ke hari menemukan Tuhan, pastilah Gereja di sini akan menjadi Gereja yang hidup.
Tentu pertanyaannya: Menemukan Tuhan itu seperti apa? Santo Yohanes tadi mengatakan, “Allah adalah kasih.” Ketika hati kita, hidup kita selalu digerakkan oleh kasih. Itulah artinya menemukan Tuhan di dalam hati kita masing-masing.
Marilah kita saling mendoakan agar semangat Santo Agustinus, pengalaman Santo Agustinus juga menjadi pengalaman kita. Dan semoga berkat keterlibatan semua umat di paroki ini, Paroki Karawaci sungguh menjadi paroki yang semakin hidup, semakin kreatif, bermakna bagi umatnya sendiri dan semakin berarti bagi masyarakat. Dalam rasa syukur dan harapan-harapan seperti itu, marilah kita lanjutkan ibadah kita.